A.
PENDAHULUAN
Kajian filsafat pada masa sekarang telah banyak menyumbangkan
pemikiran-pemikiran. Baik pemikiran-pemikiran tersebut dalam lingkup
kajian-kajian lapangan ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu keislaman. Bahkan
dalam Islam, telah banyak menggunakan metode-metode kajian filsafat yang
dikembangkan oleh Barat. Metode-metode seperti Realisme, Empirisme dan
Fenomenologi telah menjadi dasar berpikir dalam menemukan kebenaran. Begitu
juga metode terbaru yang digunakan yakni metode hermeneutic. Suatu metode
penafsiran dalam epistemologi yang menghadirkan cara baru dalam memahami ilmu
pengetahuan.
Sejauh ini, metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir
serta kebenaran yang ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi,
sebab seperti yang telah diketahui bahwa metode hermeneutika merupakan suatu
produk pemkiran Barat dan berdampak negatif dalam pengembangan ilmu, terutama
ilmu-ilmu keislaman.
Hal ini menurut penulis perlu diluruskan, sebab walaupun berdampak besar
dalam pergerakan berpikir yang dilakukan oleh para pemikir, terutama
pemikir-pemikir Islam, namun metode hermeneutika juga mempunyai sumbangan
pemikiran dalam khazanah keilmuan, khususnya ilmu-ilmu Islam. Berdasarkan
kontroversi dan pertentangan yang ada antara para pemikir yang mendukung
penggunaan hermeneutika sebagai metode dalam menemukan dan mengembangkan ilmu,
serta pemikir yang menolak kedudukan metode hermeneutika dalam kajian ilmu,
terutama dalam kajian ilmu-ilmu Islam (khususnya ilmu Alquran) maka penulis
merasa perlu untuk mengenalkan apa dan bagaimana yang dinamakan epistemologi
hermeneutika tersebut yang bertujuan meluruskan penilaian terhadap metode ini.
Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat menggambarkan pemikiran hermeneutika
dalam pikiran pembaca dan dapat memahami bagaimana kajian-kajian hermeneutika
dalam kajian-kajian keislaman.
B.
EPISTEMOLOGI HERMENEUTIKA.
1.
Pengertian Epistemologi
Hermeneutika.
Penamaan dari epistemologi hermeneutika terdiri atas
dua kata yakni berasal dari kata epistemologi dan hermeneutika. Kata
epistemologi berasal dari kata Yunani yaitu episteme yang bermakna
pengetahuan.[1] Dalam
bahasa Arab, menurut Sirajuddin Zar epistemologi dikenal dengan nama al-Ma’rifat.[2]
Secara terminologi, epistemologi atau dengan nama lain teori pengetahuan adalah
cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[3]
Adapun hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani yakni hermeneuin yang
berarti menafsirkan. Maka dapat dikatakan bahwa hermeneutika berarti tafsir
secara harfiahnya.[4] Secara
istilah, hermeneutika didefinisikan sebuah disiplin ilmu atau metode yang
diperlukan untuk menafsirkan Kitab Suci Bibel. Menurut Danhauer seperti yang
dikutip oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya mengatakan ada dua jenis ilmu
yang paling dasar yaitu logika dan hermeneutika. Peran logika adalah menentukan
kebenaran klaim pengetahuan dengan membuktikan bagaimana pengetahuan itu diturunkan
dari prinsip rasional yang lebih tinggi. Sedangkan untuk mengerti apa
sesungguhnya yang dimaksud oleh seseorang, maka diperlukan disiplin ilmu
lainnya yakni hermeneutika. Disiplin ilmu ini berperan akan memilah-milah
pengertian yang dilekatkan kepada “tanda-tanda” yang seseorang pakai, tidak
peduli apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran orang tersebut.[5]
Noeng Muhadjir mengatakan pembacaan hermeneutik
berupaya mencari kebenaran ilmu dengan cara mencari makna dari susunan kalimat,
dari konteks budaya, dari tafsir transendensi, dan lainnya. Konsep teoritiknya
berangkat dari linguistics. Telaah obyeknya bukan menggunakan prinsip
eliminasi obyek menjadi variabel, melainkan menggunakan fokus telaah atau tema
telaah. Heuristik mengadakan pembacaan mencari makna lewat kata-kata kuncinya,
sedangkan hermeneutik mengadakan pembacaan mencari makna dengan berupaya
menangkap seluruh teks bacaan. Kebermaknaan sesuatu (entah fokus, entah tema)
dapat dilandaskan pada narasi bahasa, pada narasi historis, pada hukum, pada
etika, atau pada sebagainya.[6]
Jadi, dapatlah dikatakan bahwa pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan
penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan perbuatan pelaku (atau para
pelaku) sejarah.[7]
Beranjak dari teori-teori di atas, maka penulis
berpendapat adapun yang dimaksud dengan epistemologi hermeneutika adalah suatu
metode dengan menafsirkan teks-teks baik yang bersifat keagamaan maupun tidak
untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Yang mana penafsiran-penafsiran tersebut
tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur sejarah teks tersebut.
2.
Relevansi hermeneutika terhadap
ilmu pengetahuan.
Istilah teks dan pembaca merupakan bagian struktur
tiga serangkai yang saling terkait dalam teori hermeneutika: pertama, pesan,
berupa teks maupun tanda; kedua, penafsir atau mediator; ketiga, audiens.[8] Dalam
teori hermeneutika, terdapat tiga aktivitas eksistensi manusia, yaitu memahami
(understanding), menjelaskan atau menguraikan makna tersirat menjadi
tersurat, dan menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks dengan situasi baru
dan kini. Untu dapat mengaplikasikan teori hermeneutika, Dilthey mengajukan
konsep pemahaman sejarah (historical understanding) yang juga bisa
dipahami sebagai kesaaran sejarah (historical consciousness). Konsep
Dilthey ini, bertujuan untuk mengatasi keterasingan teks dengan sejarah.[9]
Dalam teori hermeneutika, pembaca harus mampu mengisi
pemahamannya dengan keutamaan-keutamaan yang ditemukan dalam pengalaman
hidupnya. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengungkapkan fenomenologi eksistensi
dirinya sendiri. Fenomenologi eksistensi manusia akan selalu berhubungan dengan
makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktek sosial, kejadian
sejarah dan karya seni. Dengan dasar perolehan makna dari semua sinyal, simbol,
praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni, maka manusia dapat menyusun
kembali objective meaning. Teori hermeneutika berperan penting dalam
membantu membongkar suatu ruang lingkup pemikiran yang tidak terpikirkan
menjadi terpikirkan di tengah-tengah upaya memahami objective meaning.[10]
Kemudian Hans George Gadamer menguraikan penafsiran
teks melalui empat elemen utama, yaitu: 1). Pengaruh kesadaran sejarah; 2). Adanya
pra-pemahaman; 3). Adanya fusi horizon antara horizon teks dan horizon pembaca
yang dia sebut pula dengan lingkaran hermeneutik[11];
4) penerapan tiga unsur tersebut.[12]
Dalam perkembangan pada masa modern sekarang ini,
filsafat hermeneutika teraplikasi dalam enam bentuk yang berbeda, yakni:
a.
Hermeneutika sebagai teori
eksegesis Bibel. Pemahaman yang paling awal dan mungkin saja masih tersebar
luas dari kata “hermeneutika” merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi
Bibel. Terdapat justifikasi historis menyangkut aplikasi definisi ini, sebab
kata itu memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan uang muncul dalam
buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur).
b.
Hermeneutika sebagai metodologi
filologis. Perkembangan rasionalisme dan bersamaan dengannya lahir pula
filologis klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap hermeneutika
Bibel. Berawal dari hal inilah muncul metode kritik historis dalam teologis;
baik mazhab interpretsi Bibel “gramatis” maupun “historis”. Keduanya menegaskan
bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan
pada buku yang lain.
c.
Hermeneutika sebagai ilmu
pemahaman linguistik. Schleiermacher punya distingsi tentang pemahaman kembali
hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Karena seluruh bagian
selanjutnya akan dicurahkan kepadanya, maka perlu digarisbawahi di sini bahwa
konsepsi hermeneutika ini mengimplikasikan kritik radikal dari sudut pandang
filologi, karena dia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah
kaidah dan berupaya membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebuah ilmu yang mendeskripsikan
kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog.
d.
Hermeneutika sebagai fondasi
metodologi bagi Geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey adalah salah satu
pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19 dan penulis biografi Schleiermacher.
Dia melihat hermeneutikka adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai
fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu semua disiplin yang
memfokuskan kepada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia).
e.
Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein
dan pemahaman eksistensial. Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu kepada
ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften,
tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri.
Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa “pemahaman” dan “interpretasi”
merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dengan demikian, “hermenutika” dasein
Heidegger melengkapi, khususnya sejauh dia mempresentasikan ontologi pemahaman,
juga dipandang sebagai hermeneutika; penelitiannya adalah hermeneutika baik isi
maupun metode.
f.
Hermeneutika sebagai sistem interpretasi:
menemukan makna melawan ikonoklasme. Paul Ricoeur dalam De I’intretation (1965),
mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual
sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut:
“yang kita
maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata
sebuah eksegesis, dengan kata lain sebuah interpretasi teks particular atau
kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah tteks”
Psikoanalisa, dan khususnya interpretasi mimpi, merupakan bentuk yang
sangat nyata hermeneutika; unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat di
sana. Mimpi
adalah teks, teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik, dan psikoanalisa menggunakan
sistem interpretasi untuk menerjemahkan penafsiran yang mengarah pada
pemunculan makna-makna tersembunyi. Hermeneutika adalah proses penguraian yang
beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan
tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa
berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat
atau sastra.[13]
Menurut Richard E. Palmer, beberapa bidang lain perlu
dieksplorasi mengenai signifikansi bagi teori hermeneutika. Misalnya
linguistic, filsafat bahasa, analisis logika, teori penerjemahan, teori
informasi, dan teori tentang interpretasi lisan (pidato). Penelitian sastra
perlu dijelaskan signifikansinya bagi teori interpretasi, dan fenomenologi
bahasa sangat diperlukan bagi teori hermeneutika. Selain itu, filsafat
interpretasi hukum, sejarah, dan teologis, semuanya melahirkan unsur penting
dalam fenomena interpretasi. Demikian Richard E. Palmer menggambarkan ruang lingkup
hermeneutika.[14]
3.
Pembagian jenis-jenis atau kelompok hermeneutika.
Seperti yang telah diungkapkan, metode hermeneutika
ini menurut sejarahnya telah digunakan di dalam penelitian teks-teks kuno yang
otoritatif misalnya kitab suci, kemudian diterapkan di dalam teologi dan
direfleksikan secara filosofis, sampai akhirnya menjadi metode dalam ilmu-ilmu
sosial. Kemudian, sejauh hermeneutika merupakan penafsiran teks, maka dia juga
digunakan di dalam bidang yang lain, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra, dan
sebagainya.[15] Hal
tersebut juga berhubungan dengan kenyataan bahwa ekspresi manusia yang memiliki
unsur penuh makna yang perlu disadari oleh subyek dan yang diubah menjadi
sistem nilai dan maknanya sendiri telah melahirkan “permasalahan hermeneutis”
yakni sebagai proses itu dapat dilakukan, dan bagaimana mengubah makna
subjektif menjadi makna objektif yang ditempuh melalui subjektivitas penafsir
(interpreter). Ini menjadi permasalahan hermeneutika kontemporer yang terbagi
menjadi beberapa kelompok atau jenis, yaitu:
a.
Hermeneutika metode. Yakni
hermeneutika yang memiliki fokus kajian pada teori umum tentang interpretasi
sebagai metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften).
Penggunaan hermeneutika sebagai metode ini ditekankan pada upaya pencapaian
objektivitas. Dalam kategori hermeneutika metode ini adalah hermeneutika model
F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
b.
Hermeneutika filosofis.
Hermeneutika ini tidak bermaksud mencari pengetahuan objektif dengan
menggunakan prosedur metodis, tetapi mencari pengungkapan dan deskripsi
fenomenologis tentang dasein manusia dalam temporalitas dan
historisitasnya. Tujuan “memahami” teks bukan lagi menyadari kembali makna yang
dimaksud pengarang teks, tetapi untuk melahirkan pengetahuan praktis yang
relevan, subjek sendiri yang diubah menjadi sadar terhadap kemungkinan baru
mengenai eksistensi dan tanggung jawab bagi masa depannya sendiri.
c.
Hermeneutika kritis. Secara umum,
Nietzsche merupakan tokoh yang kritis dalam hermeneutik model ini. Hal ini tercermin
dari corak interpretasinya yang kritis dalam mengkaji berbagai persoalan,
termasuk dalam kajian sejarah. Dia mengklasifikasikan penulisan atau pemahaman
sejarah menjadi tiga pendekatan. Yaitu pertama, pendekatan monumental
yang dilakukan dengan memusatkan perhatian pada kebesaran dan kelangkaan
monumental di massa
lampau. Kedua, pendekatan antikuarian ditulis untuk mencari asal usul identitas
seseorang atau kelompok dari masa lampau. Dan yang ketiga pendekatan
kritis. Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya yang cenderung melihat ke masa
lampau, cara melihat masa lampau secara kritis dimaksudkan untuk mendirikan
zaman sekarang dengan jalan memisahkan dari masa lampau.
d.
Hermeneutika fenomenologi Paul
Ricoeur. Hermeneutika jenis ini, menurut Paul Ricoeur terbagi atas tiga bentuk,
yaitu: pertama, konsep mimesis, yaitu konsep hermeneutika dengan
sistem peniruan terhadap apa yang menjadi hasil interpretasi. Konsep ini
terbagi tiga, yaitu prefigurasi (mimesis I), konfigurasi (mimesis II),
dan transfigurasi (mimesis III). Kedua, hermeneutika teks, dan ketiga
hermeneutika tindakan.[16]
C.
PENUTUP
Berdasarkan penjelasan makalah sederhana di atas, maka penulis secara ringkas
merumuskan kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1.
Secara umum, epistemologi
hermeneutika didefinisikan sebagai salah satu metode dalam mencari dan
mengetahui kebenaran dengan jalan menginterpretasikan (menafsirkan)
simbol-simbol, teks, maupun tanda-tanda lainnya.
2.
Dalam hermeneutika, sangat terkait
sekali dengan tiga unsur yang saling mendukung dan terikat antara satu dengan
yang lain, yakni pertama, pesan, berupa teks maupun tanda; kedua,
penafsir atau mediator, yakni orang yang menginterpretasikan tanda atau teks
tersebut; dan ketiga, audiens, yakni para penerima hasil penafsiran atau
interpretasi dari mediator atau penafsir tersebut.
3.
Hermeneutika teraplikasi dalam
enam definisi aplikatif, yaitu:
- Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.
- Hermeneutika sebagai metodologi filologis.
- Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
- Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschaften.
- Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial.
- Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
4.
Teori hermeneutika terbagi atas
empat jenis atau kelompok hermeneutika, yaitu: pertama, Hermeneutika
metode; kedua, Hermeneutika filosofis; ketiga, Hermeneutika
kritis; dan keempat, konsep Hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, 2009, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Dahlan, Moh., 2009, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum
Islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, 2007, Hermeneutika dan
Tafsir Al-Qur’an, Jakarta:
Gema Insani.
Latief, Juraid Abdul, 2006, Manusia, Filsafat dan Sejarah, Jakarta: Bumi Aksara.
Muhadjir, Noeng, 1998, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional
Komparatif, Yogyakarta: Reka Sarasin.
Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin (ed.), 2002, Studi Al-Qur’an
Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muzir, Inyiak Ridwan, 2008, Hermeneutika Filosofis Hans-George
Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan Hans-George
Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Palmer, Richard E., 2005, Interpretation Theory in Schleiermacher,
Dilthey, Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Musnur Hery dan
Damanhuri Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru Mengenai
Interpretasi, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Setiawan, M. Nur kholis, 2008, Pemikiran Progresif dalam Kajian
Al-Qur’an, Jakarta:
Kencana.
Smith, Linda dan William Reaper, 2000, A Beginner’s Guide to Ideas,
diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama,
Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius.
Zaid, Nasr Hamid Abu, 2005, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi ‘Ulūm
al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual
Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta;
LKiS.
[1]
Linda Smith dan William Reaper, A Beginner’s Guide to Ideas,
diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama,
Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. ke 1, hlm. 10.
[2]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2004), cet. ke 1, hlm. 6.
[3]
Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009),
cet. ke 7, hlm. 148.
[4]
Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an,
(Jakarta: Gema
Insani, 2007), cet. ke 1, hlm. 7.
[5]
Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer, disadur
dari buku Truth and Method karangan Hans-George Gadamer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), cet. ke 1, hlm. 65-67.
[6]
Lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif,
(Yogyakarta: Reka Sarasin, 1998), hlm. 85.
[7]
Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat dan Sejarah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet. ke 1, hlm.
89.
[8]
Dalam kajian-kajian keislaman, khususnya ilmu-ilmu Alquran, metode hermeneutika
juga terdiri atas unsur-unsur penting interpretasi yang tidak jauh berbeda
dengan struktur di atas, yaitu si pembuat teks (Allah), si penerima (audiens)
dan teks itu sendiri (Alquran). Ditambahkan lagi peranan mediator dari teks
tersebut (malaikat). Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi
‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual
Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta;
LKiS, 2005), cet. ke 4, hlm. 43.
[9] M.
Nur kholis Setiawan, Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, (Jakarta: Kencana, 2008),
cet. ke 1, hlm. x.
[10] Ibid.,
hlm. x-xi.
[11]
Apabila dikaitkan dengan teori hermeneutika yang dilakukan dalam interpretasi
terhadap, maka diketahui juga memiliki ciri khas dalam lingkaran hermeneutika
yang dimaksud. Untuk lebih jelas lihat Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin
(ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), cet. ke 1, hlm. 197 dan
201.
[12]
M. Nur kholis Setiawan, op. cit., hlm. 97.
[13]
Richard E. Palmer, Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri
Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi,
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke 2, hlm. 39-48.
[14] Ibid.,
hlm. 79.
[15]
Maka dengan demikian, secara umum hermeneutika dapat didefinisikan sebagai
teori atau filsafat interpretasi. Lihat Josef Bleicher, Contemporary
Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Phiilosophy and Critique, (London; Routledge and
Kegan Paul, t.th.), hlm. 1.
[16]
Untuk lebih jelas lihat Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi
Hukum Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar,
2009), cet. ke 1, hlm. 20-39.
JackpotCity Hotel Casino & Spa - Mapyro
BalasHapusJackpotCity is a 60000 square foot casino 구리 출장안마 and spa located in 인천광역 출장안마 Las 제천 출장안마 Vegas, 포항 출장샵 Nevada. It offers slot machines, table games, and keno gambling 경상북도 출장안마 to its