Pada abad 15 - 16 di barat terjadi aufkarung yang
berdampak dalam hal tidak terikat lagi dengan adat dan ikatan gereja, tumbuh
percaya diri dan sikap optimisme dalam ilmu. Akhirnya lahirlah filsafat
pengetahuan yang rasional, phenomenologi, positivisme dan sebagainya.
Melalui pengaruh politik, ilmu bersifat praktis, maka di
abad 18 lahirlah pertanyaan mengenai apa hakikat ilmu; sampai di mana
batas-batas antara ilmu yang satu dengan yang lain; sampai di mana etik dan moral ikut; apa
kita sekarang telah mencapai kesenangan/kebahagiaan.
Berikut lahir paham heuristic
yaitu gejala yang muncul awal abad 19 dalam mana faktor non ilmiah mempengaruhi
perkembangan ilmu dan bahkan dapat melahirkan cabang-cabang ilmu baru misalnya
ilmu perdamaian, dan sebagainya, sehingga setiap zaman selalu timbul
cabang baru dari ilmu dan ini tidak ada yang benar tetapi itu merupakan
realitas. Ilmu sebagai produk teori bersifat sementara Kebenaran ilmiah hanya
dapat dipertimbangkan sepanjang ia diletakkan pada metode/asumsi yang dipakai.
Kalau suatu cabang ilmu membicarakan atau menyentuh harkat manusia, maka akan
timbul filsafatnya, seperti ilmu hukum timbul filsafat hukum, dan sebagainya.
Filsafat ilmu merupakan cabang
filsafat yang membahas apakah ilmu itu, tidak perlu didefinisikan tetapi
dilihat dari sejarahnya (pendekatan historis). Apa sebabnya orang berbeda-beda
memberikan definisi tentang filsafat dan ilmu.
Filsafat sudah berjalan sekitar 28
abad, dimulai zaman Yunani Kuno (8 SM - 6 M), Abad Pertengahan (6M -14/15 M)
abad modern ( 15 M-19 M dan abad kontemporer (20 M).
Filsafat Barat yang lahir di Yunani
(Asia Kecil) dekat dengan Athena yang diwariskan kepada bangsa Romawi dan
dengan filosof Arab, filsafat ini di bawa ke Eropah dan hingga sekarang ini
tersebar di seluruh dunia. Filsafat Barat menjadi sumber ilmu.
Sampai abad 20 (1920) ada perdebatan
apakah Yunani yang melahirkan peletak dasar filsafat dan ilmu pengetahuan.
Menurut Drogenes Laerties diperkuat oleh Edward Zeller (1920) menyatakan bahwa
Yunani merupakan tempat kelahiran filsafat. Abad 8 SM terdapat suatu masyarakat
yang ekonominya begitu maju di Athena, ada keamanan dan ketenteraman. Dan saat
itu ada sekelompok kecil yang mempertanyakan alam semesta. Pertanyaan ini
aktual hingga sekarang ini, seperti
adanya keteraturan, keindahan, adanya mati dsb.
Dasar filsafat pada saat kelahirannya adalah mitos.
Mulai abad ke 5 SM tidak lagi puas dengan jawaban mitos itu, maka mulai lari
kepada logos=akal, apakah archi atau asal mula dari segala
sesuatu itu?
Untuk menjawab hal itu lahirlah
filosof I Thales (624 - 548 SM) yang menjawab bahwa archi itu adalah
air.
Dalam hal ini yang
dihormati adalah keberanian dia menentang, disini timbul kepercayaan kepada
akal, yang penting adalah kehidupan dan apa yang menyebabkan hidup ialah azas
yang basah yaitu air
Kemudian lahirlah
berturut-turut: Anaximander (610 - 540 SM), yang menyatakan archi =apeiron
= azas yang tidak mengalami perubahan
Murid Tha1es yaitu
Anaximines (590 - 518 SM), menyatakan bahwa archi = udara yakni azas
bernafas.
Pythagoras (580 - 500 SM) menyatakan
bahwa archi = bilangan. Para ahli seni mereka merasakan
keseimbangan yang disimbolkan dengan angka Alam ini indah diibaratkan dengan
seni.
Herkleitos (535 - 2.75 SM)
menyatakan bahwa archi = api, sedangkan
Demokritos (460 - 370 SM) menyatakan dengan nama atom.
Pendeknya segala yang ada dan yang
mungkin ada dipertanyakan pada zaman Yunani kuno itu. Dan puncak filsafat
Yunani kuno berada pada tiga tokoh besar
yakni:
a. Socrates (469 - 399 SM) diteruskan oleh muridnya
b. Plato (427 -347 SM) dan diteruskan oleh muridnya
c.
Arestoteles (384 -322 SM)
Menurut
Aristoteles segala sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal itulah
filsafat. Dan karena banyaknya
karangan Arestoteles tersebut, maka ada pandangan bahwa fisafat hari ini adalah
pengulangan filsafatnya. Objeknya adalah segala yang ada dan yang
mungkin ada. Karyanya ada yang bersifat umum yang melahirkan metafisika, dan
ada yang bersifat khusus dan ini ada yang bersifat mutlak melahirikan teodise
(Theodicae), dan yang tidak mutlak menyangkut alam semesta melahirkan kosmologi
dan menyangkut manusia melahirkan antropologi. Yang menyangkut manusia ini
lahir pula cabang-cabangnya yakni logika, etika dan estetika. Melalui logika
mencapai kebenaran atau truth, sedangkan melalui etika menimbulkan
kehendak untuk mencapai kesusilaan atau good dan melalui estetika
menimbulkan perasaan keindahan atau beautiful. Di zamannya pula lahir
istilah philosophia. philos = cinta/teman;
sophia =wisdom yang artinya pintar dan arif, satrio pinandito. Orangnya disebut phylosophos.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang
telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan
"shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama
kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih
konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama,
kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya,
dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih
untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat
beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis).
Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah
benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil
tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka
ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum
tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan
seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa
kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia
berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia
berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai
sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh
Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun
kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq)
Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala
ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua
bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis
mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu
pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang
ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak);
(2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang
mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi. (Filsafat Ilmu, Makalah
Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Filsafat Islam di Yayasan
Pendidikan Islam Al-Jawad)
Setelah Arestoteles, filsafat Yunani mulai menghadapi
kemunduran.
Sampai abad ke 6 M.
filsafat identik dengan ilmu pengetahuan termasuk segala macam ilmu pengetahuan
kita sekarang ini. Dan pada abad ke 6 ini lahir kaum Peter =Pateristik
yang memadukan filsafat Yunani dengan Kristiani dan inilah yang disebut skolastik.
Akhirnya
filsafat berubah menjadi theologi.
Di abad pertengahan
dikenal Agustinus dan Thomas Aquino. Thomas Aquino mengembangkan pandangan
Arestoteles untuk mendukung ajaran Kristiani. Thomas dkk itu muncul berkat
adanya filosof Arab AI-Kindi, Al-Farabi (900 - 950), Ibnu Sina (980- 1037),
Ibnu Rusyd (1126 -1198) dan Al-Gazali (1059 -1111). Sementara di Eropah waktu
itu masih barbar, sedangkan di timur (Cina) sudah maju.
Abad tengah adalah
kejayaan tahta suci (Roma), kemudian terjadi kemunduran agama dari segi politik
dan ekonomi, karena tanah dikuasai oleh gereja yang dijustifikasi oleh agama
dan rakyat hanya sebagai pekerja, maka timbul keinginan untuk melepaskan diri.
Zaman modern didahului oleh zaman renaissance
(renascimento) atau kelahiran kembali. Abad 15 -17, manusia bebas dari manusia
yang dibelenggu oleh dogma agama yang dipakai untuk membenarkan sistem ekonomi.
Gerakan renaissance didukung oleh cita-cita lahirnya manusia bebas yaitu
manusia ala Yunani. Oleh karena itu karya-karya Arestoteles yang aseli diambil
kembali untuk dinilai kembali.
Manusia bebas dari segala ototritas - kebiasaan, gereja,
sistem dan tradisi -, kecuali otoritas diri sendiri. Semboyannya liberasi,
emansipasi dan otonomi diri. Kemudian gerakan kebebasan ini disusul oleh skularisasi
yang melahirkan skularisme.
Adanya renaissance tersebut bernilai positif sebab
melahirkan kepercayaan diri dan optimisme. Agama dan gereja dipertanyakan dan menjadi bulan-bulanan
Renaisance melahirkan:
1.
Copernicus, 1473
-1543
2.
Bruno , 1548 – 1600
3.
Kepler, 1571-
1630
4.
Galelei , 1564 1642
- Inti ajaran Copernicus adalah revolusi
pengetahuan yang menyatakan bukan bumi sebagai pusat alam semesta tetapi
matahari, dan ini menentang dogma gereja yang menyatakan bumi sebagai pusat.
- Bruno seorang pendeta yang mendukung Copernicus
dan dihukum bunuh.
- Pada abad ke 18 timbul
zaman Aufklarung atau enlighten=pencerahan, mendorong agar manusia
berpikir sendiri "Sapere Aude", berpikir sendiri yang mementingkan rasio.
Pada abad ke 18 dikenal revolusi industri, sebelumnya
pada abad ke 17, filsafat meninggalkan agama dan berjalan sendiri-sendiri.
Agama berdasarkan kepercayaan sedangkan filsafat berdasarkan akal dan
pengetahuan. Mungkin saja antara agama dan filsafat punya obyek yang sama
misalnya moral, tuhan, dsb. Ini merupakan gejala periode II di samping
gejala sekuler
Gejala periode III yaitu melepaskan pengetahuan dari
filsafat, orang tidak lagi berpikir dari kitab suci atau deduksi, dengan adanya
renaissance orang berpikir induksi.
Anak-anak renaissance melihat alam dari bagian, tidak
menyeluruh seperti pandangan filsafat, demikian pula manusia di lihat
aspek-aspeknya. Sejak renaissance,
filsafat seolah-olah menjadi kesepian dan seolah-olah hanya bagian dari
metafisika. Manusia menjadi detotalisasi, manusia dipotong-potong tidak
dilihat secara keseluruhan dan inilah kenyataan sekarang. Memang spesialisasi
juga dibutuhkan. Ilmu cabang
mengembangkan metode sendiri untuk mengetahui hal-hal yang paling detail dalam
wawasannya sendiri. Pada saat ilmu
cabang memasuki spekulasi/teori yang fundamental, maka harus kembali ke
filsafat. Filsafat menjadi mahkota bagi ilmu-ilmu cabang.
Di zaman
Yunani – Arestoteles – pengetahuan dimanfaatkan bukan untuk mempermudah
kehidupan manusia, tetapi semata mata untuk pengenalan diri manusia, karena
kehidupan dianggap suatu yang telah ada (takdir) dari alam kodrat dan manusia
diyakini tidak dapat merubahnya. Akan tetapi pada peride lanjutan, sekali
pengetahuan telah lahir, maka untuk mengembangkannya timbullah eksprimen.
Eksprimen memang diutuhkan baik untuk memperoleh pengetahuan maupun untuk
menguji pengetahuan, dan eksprimen tidak saja berhubungan dengan alam yang
sempit tetapi dengan alam yang semakin meluas dan untuk itu tak bisa kcuali
melalui pengetahuan.
Pada saat
terjadi pergeseran dari ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-empiris menuju
ilmu pengetahuan yang bersifat
rasional-eksprimental telah mengakibatkan ditemukannya kegunaan pengetahuan.
Ilmu alam sebagai ilmu pertama yang
berubah menjdi pelayanan kepada teknik, mengakibatkan pengetahuan semakin
menampakkan nilai praksisnya. Memang ada pembagian pengetahuan teoritis dan
praktis tetapi kesemuanya hampir telah menjadi praksis.
Van Melsen meskipun mengthui adanya
tendensi pengetahuan ke arah kesatuan, tetapi kenyatannya berlainan, bakan
spesialisasi pengetahuan tak dapat dimengerti. Ini bukan diakibatkan oleh objek
materianya, tetapi akibat dari perbedaan objek formanya, tetapi akibat dari
perbedaan objek forma yakni perbedaan metodologi.
Keyakinan akan kesatuan pengetahuan dan
tumbuhnya spesialisasi justru harus timbul supaya tendensi ilmu pengetahuan
yang menjuniversalisir serta menyatu
dapat diwujudkan dan supaya banyak gejala yang beraneka ragam itu dapat
disentetisir. Kesatuan yang didasarkan atas prinsip yang sungguh-sungguh
universal hanya dapat diperoleh melalui spesialisasi (p.18).
Harapan ini hanya tinggal harapan
hingga akhir abad ini karena berbagai ilmu dengan nilai praksisnya telah
semakin memperbesar spesialisasi. Melalui eksprimen timbul lagi yang dahulunya
belum terungkap spesialisasi baru.
Demikian pula tak ada ilmu yang menguasai realitas konkrit secara
menyeluruh. Tetapi apakah ilmu itu secara bersama-sama tidak dapat menguasai
seluruh realitas?. Bahkan jika seandainya hal itu mungkin, masih ada dua kesulitan:
1.
Tidak semua ilmu berkembang
sama jauhnya, karena dalam perkembangannya antara ilmu yang satu terikat dengan
ilmu yang lain (teoritis-praktis; sosial-ilmu alam; biologi-kimia).
2.
Karena ilmu berbeda dalam
objek formanya, sebab tidak mudah untuk menyatukan cara kerja dan pendekatan
antara ilmu-ilmu itu (van Melsen:55).
Ilmu pengetahuan memang sukar kembali
kepada induknya filsafat, karena pradigmanya telah begitu berbeda, tentunya
filsafat yang bertujuan untuk mengerti tentang manusia dalam mana pengetahan
selalu diberi nafas oleh tujuan fundamental ini. Tetapi dewasa ini pengetahuan
didasarkan atas pradigma bagaimana manusia menjadi berkuasa. Penguasaaan
terhadap alam banyak membawa manusia lupa mengenali dirinya sehingga
nilai-nilai pragmatis dan operasional menjadi semakin jelas. Bahkan menurut van
Peursen hakikat manusia telah tertindas oleh nilai praktis ilmu dan manusia
sendiri dipandang tidak lebih dari hal-hal material dan operasional (van
Peursen, 1985: 112-117).
Kelahiran filsafat ilmu pada abad ke 18 memberikan petunjuk bahwa
ilmu-ilmu cabang telah menyentuh nilai-nilai dasar/fundamental bagi umat
manusia menyentuh nilai-nilai moral bagi
kelangsungan umat manusia, filsafat ingin kembali memadukan.
Adapun yang dikerjakan oleh filsafat modern: l) Apa
sarana untuk mencapai kebenaran, dan 2) apakah kebenaran itu. Filsatat modern
lebih identik dan menfokuskan dengan epistemologi yakni pemikiran mengenai
kenyataan dan kebenaran.
Abad modern diisi oleh diskusi antara lain:
1. Rasionalisme
2. Empirisme
Untuk mendamaikan adalah
rasionalisme kritis (kritisime), juga didamaikan oleh phenomenologi. (Lihat Az Zuhruf: 33).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar