Minggu, 26 Februari 2012

Epistemologi Hermeneutika


A.    PENDAHULUAN
Kajian filsafat pada masa sekarang telah banyak menyumbangkan pemikiran-pemikiran. Baik pemikiran-pemikiran tersebut dalam lingkup kajian-kajian lapangan ilmu-ilmu humaniora maupun ilmu-ilmu keislaman. Bahkan dalam Islam, telah banyak menggunakan metode-metode kajian filsafat yang dikembangkan oleh Barat. Metode-metode seperti Realisme, Empirisme dan Fenomenologi telah menjadi dasar berpikir dalam menemukan kebenaran. Begitu juga metode terbaru yang digunakan yakni metode hermeneutic. Suatu metode penafsiran dalam epistemologi yang menghadirkan cara baru dalam memahami ilmu pengetahuan.
Sejauh ini, metode hermeneutika telah banyak mempengaruhi daya pikir serta kebenaran yang ditemukan. Namun, metode ini masih menjadi kontroversi, sebab seperti yang telah diketahui bahwa metode hermeneutika merupakan suatu produk pemkiran Barat dan berdampak negatif dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu-ilmu keislaman.
Hal ini menurut penulis perlu diluruskan, sebab walaupun berdampak besar dalam pergerakan berpikir yang dilakukan oleh para pemikir, terutama pemikir-pemikir Islam, namun metode hermeneutika juga mempunyai sumbangan pemikiran dalam khazanah keilmuan, khususnya ilmu-ilmu Islam. Berdasarkan kontroversi dan pertentangan yang ada antara para pemikir yang mendukung penggunaan hermeneutika sebagai metode dalam menemukan dan mengembangkan ilmu, serta pemikir yang menolak kedudukan metode hermeneutika dalam kajian ilmu, terutama dalam kajian ilmu-ilmu Islam (khususnya ilmu Alquran) maka penulis merasa perlu untuk mengenalkan apa dan bagaimana yang dinamakan epistemologi hermeneutika tersebut yang bertujuan meluruskan penilaian terhadap metode ini. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat menggambarkan pemikiran hermeneutika dalam pikiran pembaca dan dapat memahami bagaimana kajian-kajian hermeneutika dalam kajian-kajian keislaman.
 B.     EPISTEMOLOGI HERMENEUTIKA.
1.      Pengertian Epistemologi Hermeneutika.
Penamaan dari epistemologi hermeneutika terdiri atas dua kata yakni berasal dari kata epistemologi dan hermeneutika. Kata epistemologi berasal dari kata Yunani yaitu episteme yang bermakna pengetahuan.[1] Dalam bahasa Arab, menurut Sirajuddin Zar epistemologi dikenal dengan nama al-Ma’rifat.[2] Secara terminologi, epistemologi atau dengan nama lain teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[3] Adapun hermeneutika, berasal dari bahasa Yunani yakni hermeneuin yang berarti menafsirkan. Maka dapat dikatakan bahwa hermeneutika berarti tafsir secara harfiahnya.[4] Secara istilah, hermeneutika didefinisikan sebuah disiplin ilmu atau metode yang diperlukan untuk menafsirkan Kitab Suci Bibel. Menurut Danhauer seperti yang dikutip oleh Inyiak Ridwan Muzir dalam bukunya mengatakan ada dua jenis ilmu yang paling dasar yaitu logika dan hermeneutika. Peran logika adalah menentukan kebenaran klaim pengetahuan dengan membuktikan bagaimana pengetahuan itu diturunkan dari prinsip rasional yang lebih tinggi. Sedangkan untuk mengerti apa sesungguhnya yang dimaksud oleh seseorang, maka diperlukan disiplin ilmu lainnya yakni hermeneutika. Disiplin ilmu ini berperan akan memilah-milah pengertian yang dilekatkan kepada “tanda-tanda” yang seseorang pakai, tidak peduli apa sesungguhnya yang ada dalam pikiran orang tersebut.[5]
Noeng Muhadjir mengatakan pembacaan hermeneutik berupaya mencari kebenaran ilmu dengan cara mencari makna dari susunan kalimat, dari konteks budaya, dari tafsir transendensi, dan lainnya. Konsep teoritiknya berangkat dari linguistics. Telaah obyeknya bukan menggunakan prinsip eliminasi obyek menjadi variabel, melainkan menggunakan fokus telaah atau tema telaah. Heuristik mengadakan pembacaan mencari makna lewat kata-kata kuncinya, sedangkan hermeneutik mengadakan pembacaan mencari makna dengan berupaya menangkap seluruh teks bacaan. Kebermaknaan sesuatu (entah fokus, entah tema) dapat dilandaskan pada narasi bahasa, pada narasi historis, pada hukum, pada etika, atau pada sebagainya.[6] Jadi, dapatlah dikatakan bahwa pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan perbuatan pelaku (atau para pelaku) sejarah.[7]
Beranjak dari teori-teori di atas, maka penulis berpendapat adapun yang dimaksud dengan epistemologi hermeneutika adalah suatu metode dengan menafsirkan teks-teks baik yang bersifat keagamaan maupun tidak untuk menemukan kebenaran pengetahuan. Yang mana penafsiran-penafsiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur sejarah teks tersebut.
2.      Relevansi hermeneutika terhadap ilmu pengetahuan.
Istilah teks dan pembaca merupakan bagian struktur tiga serangkai yang saling terkait dalam teori hermeneutika: pertama, pesan, berupa teks maupun tanda; kedua, penafsir atau mediator; ketiga, audiens.[8] Dalam teori hermeneutika, terdapat tiga aktivitas eksistensi manusia, yaitu memahami (understanding), menjelaskan atau menguraikan makna tersirat menjadi tersurat, dan menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks dengan situasi baru dan kini. Untu dapat mengaplikasikan teori hermeneutika, Dilthey mengajukan konsep pemahaman sejarah (historical understanding) yang juga bisa dipahami sebagai kesaaran sejarah (historical consciousness). Konsep Dilthey ini, bertujuan untuk mengatasi keterasingan teks dengan sejarah.[9]
Dalam teori hermeneutika, pembaca harus mampu mengisi pemahamannya dengan keutamaan-keutamaan yang ditemukan dalam pengalaman hidupnya. Dengan kata lain, pembaca harus mampu mengungkapkan fenomenologi eksistensi dirinya sendiri. Fenomenologi eksistensi manusia akan selalu berhubungan dengan makna kehidupan dari semua bentuk sinyal dan simbol, praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni. Dengan dasar perolehan makna dari semua sinyal, simbol, praktek sosial, kejadian sejarah dan karya seni, maka manusia dapat menyusun kembali objective meaning. Teori hermeneutika berperan penting dalam membantu membongkar suatu ruang lingkup pemikiran yang tidak terpikirkan menjadi terpikirkan di tengah-tengah upaya memahami objective meaning.[10]
Kemudian Hans George Gadamer menguraikan penafsiran teks melalui empat elemen utama, yaitu: 1). Pengaruh kesadaran sejarah; 2). Adanya pra-pemahaman; 3). Adanya fusi horizon antara horizon teks dan horizon pembaca yang dia sebut pula dengan lingkaran hermeneutik[11]; 4) penerapan tiga unsur tersebut.[12]
Dalam perkembangan pada masa modern sekarang ini, filsafat hermeneutika teraplikasi dalam enam bentuk yang berbeda, yakni:
a.       Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel. Pemahaman yang paling awal dan mungkin saja masih tersebar luas dari kata “hermeneutika” merujuk kepada prinsip-prinsip interpretasi Bibel. Terdapat justifikasi historis menyangkut aplikasi definisi ini, sebab kata itu memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan uang muncul dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur).
b.      Hermeneutika sebagai metodologi filologis. Perkembangan rasionalisme dan bersamaan dengannya lahir pula filologis klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh besar terhadap hermeneutika Bibel. Berawal dari hal inilah muncul metode kritik historis dalam teologis; baik mazhab interpretsi Bibel “gramatis” maupun “historis”. Keduanya menegaskan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan pada buku yang lain.
c.       Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Schleiermacher punya distingsi tentang pemahaman kembali hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman. Karena seluruh bagian selanjutnya akan dicurahkan kepadanya, maka perlu digarisbawahi di sini bahwa konsepsi hermeneutika ini mengimplikasikan kritik radikal dari sudut pandang filologi, karena dia berusaha melebihi konsep hermeneutika sebagai sejumlah kaidah dan berupaya membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebuah ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog.
d.      Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey adalah salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19 dan penulis biografi Schleiermacher. Dia melihat hermeneutikka adalah inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu semua disiplin yang memfokuskan kepada pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia).
e.       Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial. Hermeneutika dalam konteks ini tidak mengacu kepada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Analisis Heidegger mengindikasikan bahwa “pemahaman” dan “interpretasi” merupakan model fondasional keberadaan manusia. Dengan demikian, “hermenutika” dasein Heidegger melengkapi, khususnya sejauh dia mempresentasikan ontologi pemahaman, juga dipandang sebagai hermeneutika; penelitiannya adalah hermeneutika baik isi maupun metode.
f.        Hermeneutika sebagai sistem interpretasi: menemukan makna melawan ikonoklasme. Paul Ricoeur dalam De I’intretation (1965), mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
“yang kita maksud dengan hermeneutika adalah teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain sebuah interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah tteks”

Psikoanalisa, dan khususnya interpretasi mimpi, merupakan bentuk yang sangat nyata hermeneutika; unsur-unsur situasi hermeneutis semuanya terdapat di sana. Mimpi adalah teks, teks yang dipenuhi dengan kesan-kesan simbolik, dan psikoanalisa menggunakan sistem interpretasi untuk menerjemahkan penafsiran yang mengarah pada pemunculan makna-makna tersembunyi. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat atau sastra.[13]
Menurut Richard E. Palmer, beberapa bidang lain perlu dieksplorasi mengenai signifikansi bagi teori hermeneutika. Misalnya linguistic, filsafat bahasa, analisis logika, teori penerjemahan, teori informasi, dan teori tentang interpretasi lisan (pidato). Penelitian sastra perlu dijelaskan signifikansinya bagi teori interpretasi, dan fenomenologi bahasa sangat diperlukan bagi teori hermeneutika. Selain itu, filsafat interpretasi hukum, sejarah, dan teologis, semuanya melahirkan unsur penting dalam fenomena interpretasi. Demikian Richard E. Palmer menggambarkan ruang lingkup hermeneutika.[14]
3.      Pembagian jenis-jenis atau  kelompok hermeneutika.
Seperti yang telah diungkapkan, metode hermeneutika ini menurut sejarahnya telah digunakan di dalam penelitian teks-teks kuno yang otoritatif misalnya kitab suci, kemudian diterapkan di dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis, sampai akhirnya menjadi metode dalam ilmu-ilmu sosial. Kemudian, sejauh hermeneutika merupakan penafsiran teks, maka dia juga digunakan di dalam bidang yang lain, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra, dan sebagainya.[15] Hal tersebut juga berhubungan dengan kenyataan bahwa ekspresi manusia yang memiliki unsur penuh makna yang perlu disadari oleh subyek dan yang diubah menjadi sistem nilai dan maknanya sendiri telah melahirkan “permasalahan hermeneutis” yakni sebagai proses itu dapat dilakukan, dan bagaimana mengubah makna subjektif menjadi makna objektif yang ditempuh melalui subjektivitas penafsir (interpreter). Ini menjadi permasalahan hermeneutika kontemporer yang terbagi menjadi beberapa kelompok atau jenis, yaitu:
a.       Hermeneutika metode. Yakni hermeneutika yang memiliki fokus kajian pada teori umum tentang interpretasi sebagai metodologi dalam ilmu-ilmu sosial (geisteswissenschaften). Penggunaan hermeneutika sebagai metode ini ditekankan pada upaya pencapaian objektivitas. Dalam kategori hermeneutika metode ini adalah hermeneutika model F. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, dan Emilio Betti.
b.      Hermeneutika filosofis. Hermeneutika ini tidak bermaksud mencari pengetahuan objektif dengan menggunakan prosedur metodis, tetapi mencari pengungkapan dan deskripsi fenomenologis tentang dasein manusia dalam temporalitas dan historisitasnya. Tujuan “memahami” teks bukan lagi menyadari kembali makna yang dimaksud pengarang teks, tetapi untuk melahirkan pengetahuan praktis yang relevan, subjek sendiri yang diubah menjadi sadar terhadap kemungkinan baru mengenai eksistensi dan tanggung jawab bagi masa depannya sendiri.
c.       Hermeneutika kritis. Secara umum, Nietzsche merupakan tokoh yang kritis dalam hermeneutik model ini. Hal ini tercermin dari corak interpretasinya yang kritis dalam mengkaji berbagai persoalan, termasuk dalam kajian sejarah. Dia mengklasifikasikan penulisan atau pemahaman sejarah menjadi tiga pendekatan. Yaitu pertama, pendekatan monumental yang dilakukan dengan memusatkan perhatian pada kebesaran dan kelangkaan monumental di massa lampau. Kedua, pendekatan antikuarian ditulis untuk mencari asal usul identitas seseorang atau kelompok dari masa lampau. Dan yang ketiga pendekatan kritis. Berbeda dengan dua pendekatan sebelumnya yang cenderung melihat ke masa lampau, cara melihat masa lampau secara kritis dimaksudkan untuk mendirikan zaman sekarang dengan jalan memisahkan dari masa lampau.
d.      Hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur. Hermeneutika jenis ini, menurut Paul Ricoeur terbagi atas tiga bentuk, yaitu: pertama, konsep mimesis, yaitu konsep hermeneutika dengan sistem peniruan terhadap apa yang menjadi hasil interpretasi. Konsep ini terbagi tiga, yaitu prefigurasi (mimesis I), konfigurasi (mimesis II), dan transfigurasi (mimesis III). Kedua, hermeneutika teks, dan ketiga hermeneutika tindakan.[16]
C.    PENUTUP
Berdasarkan penjelasan makalah sederhana di atas, maka penulis secara ringkas merumuskan kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1.      Secara umum, epistemologi hermeneutika didefinisikan sebagai salah satu metode dalam mencari dan mengetahui kebenaran dengan jalan menginterpretasikan (menafsirkan) simbol-simbol, teks, maupun tanda-tanda lainnya.
2.      Dalam hermeneutika, sangat terkait sekali dengan tiga unsur yang saling mendukung dan terikat antara satu dengan yang lain, yakni pertama, pesan, berupa teks maupun tanda; kedua, penafsir atau mediator, yakni orang yang menginterpretasikan tanda atau teks tersebut; dan ketiga, audiens, yakni para penerima hasil penafsiran atau interpretasi dari mediator atau penafsir tersebut.
3.      Hermeneutika teraplikasi dalam enam definisi aplikatif, yaitu:
  1. Hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel.
  2. Hermeneutika sebagai metodologi filologis.
  3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik.
  4. Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi Geisteswissenschaften.
  5. Hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial.
  6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi.
4.      Teori hermeneutika terbagi atas empat jenis atau kelompok hermeneutika, yaitu: pertama, Hermeneutika metode; kedua, Hermeneutika filosofis; ketiga, Hermeneutika kritis; dan keempat, konsep Hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, 2009, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Dahlan, Moh., 2009, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Husaini, Adian dan Abdurrahman al-Baghdadi, 2007, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani.

Latief, Juraid Abdul, 2006, Manusia, Filsafat dan Sejarah, Jakarta: Bumi Aksara.

Muhadjir, Noeng, 1998, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Reka Sarasin.

Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsudin (ed.), 2002, Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Muzir, Inyiak Ridwan, 2008, Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan Hans-George Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Palmer, Richard E., 2005, Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Setiawan, M. Nur kholis, 2008, Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, Jakarta: Kencana.

Smith, Linda dan William Reaper, 2000, A Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, Yogyakarta: Kanisius.

Zaid, Nasr Hamid Abu, 2005, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi ‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta; LKiS.

Zar, Sirajuddin, 2004, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.


[1] Linda Smith dan William Reaper, A Beginner’s Guide to Ideas, diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi dengan judul Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), cet. ke 1, hlm. 10.
[2] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), cet. ke 1, hlm. 6.
[3] Lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), cet. ke 7, hlm. 148.
[4] Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 2007), cet. ke 1, hlm. 7.
[5] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-George Gadamer, disadur dari buku Truth and Method karangan Hans-George Gadamer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), cet. ke 1, hlm. 65-67.
[6] Lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis Fungsional Komparatif, (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1998), hlm. 85.
[7] Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat dan Sejarah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), cet. ke 1, hlm. 89.
[8] Dalam kajian-kajian keislaman, khususnya ilmu-ilmu Alquran, metode hermeneutika juga terdiri atas unsur-unsur penting interpretasi yang tidak jauh berbeda dengan struktur di atas, yaitu si pembuat teks (Allah), si penerima (audiens) dan teks itu sendiri (Alquran). Ditambahkan lagi peranan mediator dari teks tersebut (malaikat). Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nāsh Dirāsah fi ‘Ulūm al-Qur’an, diterjemahkan oleh Khoirun Nadliyyin dengan judul Tekstual Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, (Yogyakarta; LKiS, 2005), cet. ke 4, hlm. 43.
[9] M. Nur kholis Setiawan, Pemikiran Progresif dalam Kajian Al-Qur’an, (Jakarta: Kencana, 2008), cet. ke 1, hlm. x.
[10] Ibid., hlm. x-xi.
[11] Apabila dikaitkan dengan teori hermeneutika yang dilakukan dalam interpretasi terhadap, maka diketahui juga memiliki ciri khas dalam lingkaran hermeneutika yang dimaksud. Untuk lebih jelas lihat Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed.), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), cet. ke 1, hlm. 197 dan 201.
[12] M. Nur kholis Setiawan, op. cit., hlm. 97.
[13] Richard E. Palmer, Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, diterjemahkan oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed dengan judul Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2005), cet. ke 2, hlm. 39-48.
[14] Ibid., hlm. 79.
[15] Maka dengan demikian, secara umum hermeneutika dapat didefinisikan sebagai teori atau filsafat interpretasi. Lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Phiilosophy and Critique, (London; Routledge and Kegan Paul, t.th.), hlm. 1.
[16] Untuk lebih jelas lihat Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Na’im: Epistemologi Hukum Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2009), cet. ke 1, hlm. 20-39.

Selasa, 21 Februari 2012

PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU


Pada abad 15 - 16 di barat terjadi aufkarung yang berdampak dalam hal tidak terikat lagi dengan adat dan ikatan gereja, tumbuh percaya diri dan sikap optimisme dalam ilmu. Akhirnya lahirlah filsafat pengetahuan yang rasional, phenomenologi, positivisme dan sebagainya.
Melalui pengaruh politik, ilmu bersifat praktis, maka di abad 18 lahirlah pertanyaan mengenai apa hakikat ilmu; sampai di mana batas-batas antara ilmu yang satu dengan yang lain; sampai di mana etik dan moral ikut; apa kita sekarang telah mencapai kesenangan/kebahagiaan.
Berikut lahir paham heuristic yaitu gejala yang muncul awal abad 19 dalam mana faktor non ilmiah mempengaruhi perkembangan ilmu dan bahkan dapat melahirkan cabang-cabang ilmu baru misalnya ilmu perdamaian, dan sebagainya, sehingga setiap zaman selalu timbul cabang baru dari ilmu dan ini tidak ada yang benar tetapi itu merupakan realitas. Ilmu sebagai produk teori bersifat sementara Kebenaran ilmiah hanya dapat dipertimbangkan sepanjang ia diletakkan pada metode/asumsi yang dipakai. Kalau suatu cabang ilmu membicarakan atau menyentuh harkat manusia, maka akan timbul filsafatnya, seperti ilmu hukum timbul filsafat hukum, dan sebagainya­.
Filsafat ilmu merupakan cabang filsafat yang membahas apakah ilmu itu, tidak perlu didefinisikan tetapi dilihat dari sejarahnya (pendekatan historis). Apa sebabnya orang berbeda-beda memberikan definisi tentang filsafat dan ilmu.­
Filsafat sudah berjalan sekitar 28 abad, dimulai zaman Yunani Kuno (8 SM - 6 M), Abad Pertengahan (6M -14/15 M) abad modern ( 15 M-19 M dan abad kontemporer (20 M).
Filsafat Barat yang lahir di Yunani (Asia Kecil) dekat dengan Athena yang diwariskan kepada bangsa Romawi dan dengan filosof Arab, filsafat ini di bawa ke Eropah dan hingga sekarang ini tersebar di seluruh dunia. Filsafat Barat menjadi sumber ilmu­.
Sampai abad 20 (1920) ada perdebatan apakah Yunani yang melahirkan peletak dasar filsafat dan ilmu pengetahuan. Menurut Drogenes Laerties diperkuat oleh Edward Zeller (1920) menyatakan bahwa Yunani merupakan tempat kelahiran filsafat. Abad 8 SM terdapat suatu masyarakat yang ekonominya begitu maju di Athena, ada keamanan dan ketenteraman. Dan saat itu ada sekelompok kecil yang mempertanyakan alam semesta. Pertanyaan ini aktual hingga sekarang ini, seperti  adanya keteraturan, keindahan, adanya mati dsb.
Dasar filsafat pada saat kelahirannya adalah mitos. Mulai abad ke 5 SM tidak lagi puas dengan jawaban mitos itu, maka mulai lari kepada logos=akal, apakah archi atau asal mula dari segala sesuatu itu?
Untuk menjawab hal itu lahirlah filosof I Thales (624 - 548 SM) yang menjawab bahwa archi itu adalah air.

Dalam hal ini yang dihormati adalah keberanian dia menentang, disini timbul kepercayaan kepada akal, yang penting adalah kehidupan dan apa yang menyebabkan hidup ialah azas yang basah yaitu air­
Kemudian lahirlah berturut-turut: Anaximander (610 - 540 SM), yang menyatakan archi =apeiron = azas yang tidak mengalami perubahan
Murid Tha1es yaitu Anaximines (590 - 518 SM), menyatakan bahwa archi = udara yakni azas bernafas­.
Pythagoras (580 - 500 SM) menyatakan bahwa archi = bilangan. Para ahli seni mereka merasakan keseimbangan yang disimbolkan dengan angka Alam ini indah diibaratkan dengan seni­.
Herkleitos (535 - 2.75 SM) menyatakan bahwa archi = api, sedangkan Demokritos (460 - 370 SM) menyatakan dengan nama atom.
Pendeknya segala yang ada dan yang mungkin ada dipertanyakan pada zaman Yunani kuno itu. Dan puncak filsafat Yunani kuno berada pada tiga tokoh besar yakni:
a.    Socrates (469 - 399 SM) diteruskan oleh muridnya
b.    Plato (427 -347 SM) dan diteruskan oleh muridnya
c.    Arestoteles (384 -322 SM)­

Menurut Aristoteles segala sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal itulah filsafat. Dan karena banyaknya karangan Arestoteles tersebut, maka ada pandangan bahwa fisafat hari ini adalah pengulangan filsafatnya. Objeknya adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Karyanya ada yang bersifat umum yang melahirkan metafisika, dan ada yang bersifat khusus dan ini ada yang bersifat mutlak melahirikan teodise (Theodicae), dan yang tidak mutlak menyangkut alam semesta melahirkan kosmologi dan menyangkut manusia melahirkan antropologi. Yang menyangkut manusia ini lahir pula cabang-cabangnya yakni logika, etika dan estetika. Melalui logika mencapai kebenaran atau truth, sedangkan melalui etika menimbulkan kehendak untuk mencapai kesusilaan atau good dan melalui estetika menimbulkan perasaan keindahan atau beautiful. Di zamannya pula lahir istilah philosophia. philos = cinta/teman; sophia =wisdom yang artinya pintar dan arif, satrio pinandito. Orangnya disebut phylosophos.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata "philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. (dan masih konon juga) Dia menggunakan kata ini karena dua alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan. Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini, Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai.
Kemudian perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis. Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2) urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik. Filusuf adalah orang yang mengetahui semua cabang-cabang ilmu pengetahuan tadi. (Filsafat Ilmu, Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah  Filsafat Islam  di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad)
Setelah Arestoteles, filsafat Yunani mulai menghadapi kemunduran.
Sampai abad ke 6 M. filsafat identik dengan ilmu pengetahuan termasuk segala macam ilmu pengetahuan kita sekarang ini. Dan pada abad ke 6 ini lahir kaum Peter =Pateristik yang memadukan filsafat Yunani dengan Kristiani dan inilah yang disebut skolastik.  Akhirnya filsafat berubah menjadi theologi.
Di abad pertengahan dikenal Agustinus dan Thomas Aquino. Thomas Aquino mengembangkan pandangan Arestoteles untuk mendukung ajaran Kristiani. Thomas dkk itu muncul berkat adanya filosof Arab AI-Kindi, Al-Farabi (900 - 950), Ibnu Sina (980- 1037), Ibnu Rusyd (1126 -1198) dan Al-Gazali (1059 -1111). Sementara di Eropah waktu itu masih barbar, sedangkan di timur (Cina) sudah maju.
Abad tengah adalah kejayaan tahta suci (Roma), kemudian terjadi kemunduran agama dari segi politik dan ekonomi, karena tanah dikuasai oleh gereja yang dijustifikasi oleh agama dan rakyat hanya sebagai pekerja, maka timbul keinginan untuk melepaskan diri.
Zaman modern didahului oleh zaman renaissance (renascimento) atau kelahiran kembali. Abad 15 -17, manusia bebas dari manusia yang dibelenggu oleh dogma agama yang dipakai untuk membenarkan sistem ekonomi. Gerakan renaissance didukung oleh cita-cita lahirnya manusia bebas yaitu manusia ala Yunani. Oleh karena itu karya-karya Arestoteles yang aseli diambil kembali untuk dinilai kembali.
Manusia bebas dari segala ototritas - kebiasaan, gereja, sistem dan tradisi -, kecuali otoritas diri sendiri. Semboyannya liberasi, emansipasi dan otonomi diri. Kemudian gerakan kebebasan ini disusul oleh skularisasi yang melahirkan skularisme.
Adanya renaissance tersebut bernilai positif sebab melahirkan kepercayaan diri dan optimisme. Agama dan gereja dipertanyakan dan menjadi bulan-bulanan
Renaisance melahirkan:
1.    Copernicus, 1473 -1543
2.    Bruno , 1548 – 1600
3.    Kepler, 1571- 1630 
4.    Galelei , 1564 1642
- Inti ajaran Copernicus adalah revolusi pengetahuan yang menyatakan bukan bumi sebagai pusat alam semesta tetapi matahari, dan ini menentang dogma gereja yang menyatakan bumi sebagai pusat.
-  Bruno seorang pendeta yang mendukung Copernicus dan dihukum bunuh.
- Pada abad ke 18 timbul zaman Aufklarung atau enlighten=pencerahan, mendorong agar manusia berpikir sendiri "Sapere Aude", berpikir sendiri yang mementingkan rasio.
Pada abad ke 18 dikenal revolusi industri, sebelumnya pada abad ke 17, filsafat meninggalkan agama dan berjalan sendiri-sendiri. Agama berdasarkan kepercayaan sedangkan filsafat berdasarkan akal dan pengetahuan. Mungkin saja antara agama dan filsafat punya obyek yang sama misalnya moral, tuhan, dsb. Ini merupakan gejala periode II di samping gejala sekuler
Gejala periode III yaitu melepaskan pengetahuan dari filsafat, orang tidak lagi berpikir dari kitab suci atau deduksi, dengan adanya renaissance orang berpikir induksi.
Anak-anak renaissance melihat alam dari bagian, tidak menyeluruh seperti pandangan filsafat, demikian pula manusia di lihat aspek-aspeknya.  Sejak renaissance, filsafat seolah-olah menjadi kesepian dan seolah-olah hanya bagian dari metafisika. Manusia menjadi detotalisasi, manusia dipotong-potong tidak dilihat secara keseluruhan dan inilah kenyataan sekarang. Memang spesialisasi juga dibutuhkan.  Ilmu cabang mengembangkan metode sendiri untuk mengetahui hal-hal yang paling detail dalam wawasannya sendiri. Pada saat ilmu cabang memasuki spekulasi/teori yang fundamental, maka harus kembali ke filsafat. Filsafat menjadi mahkota bagi ilmu-ilmu cabang.
          Di zaman Yunani – Arestoteles – pengetahuan dimanfaatkan bukan untuk mempermudah kehidupan manusia, tetapi semata mata untuk pengenalan diri manusia, karena kehidupan dianggap suatu yang telah ada (takdir) dari alam kodrat dan manusia diyakini tidak dapat merubahnya. Akan tetapi pada peride lanjutan, sekali pengetahuan telah lahir, maka untuk mengembangkannya timbullah eksprimen. Eksprimen memang diutuhkan baik untuk memperoleh pengetahuan maupun untuk menguji pengetahuan, dan eksprimen tidak saja berhubungan dengan alam yang sempit tetapi dengan alam yang semakin meluas dan untuk itu tak bisa kcuali melalui pengetahuan.
         Pada saat terjadi pergeseran dari ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-empiris menuju ilmu pengetahuan  yang bersifat rasional-eksprimental telah mengakibatkan ditemukannya kegunaan pengetahuan.
          Ilmu alam sebagai ilmu pertama yang berubah menjdi pelayanan kepada teknik, mengakibatkan pengetahuan semakin menampakkan nilai praksisnya. Memang ada pembagian pengetahuan teoritis dan praktis tetapi kesemuanya hampir telah menjadi praksis.
           Van Melsen meskipun mengthui adanya tendensi pengetahuan ke arah kesatuan, tetapi kenyatannya berlainan, bakan spesialisasi pengetahuan tak dapat dimengerti. Ini bukan diakibatkan oleh objek materianya, tetapi akibat dari perbedaan objek formanya, tetapi akibat dari perbedaan objek forma yakni perbedaan metodologi.
           Keyakinan akan kesatuan pengetahuan dan tumbuhnya spesialisasi justru harus timbul supaya tendensi ilmu pengetahuan yang menjuniversalisir serta  menyatu dapat diwujudkan dan supaya banyak gejala yang beraneka ragam itu dapat disentetisir. Kesatuan yang didasarkan atas prinsip yang sungguh-sungguh universal hanya dapat diperoleh melalui spesialisasi (p.18).
         Harapan ini hanya tinggal harapan hingga akhir abad ini karena berbagai ilmu dengan nilai praksisnya telah semakin memperbesar spesialisasi. Melalui eksprimen timbul lagi yang dahulunya belum terungkap spesialisasi baru.
         Demikian pula tak ada ilmu  yang menguasai realitas konkrit secara menyeluruh. Tetapi apakah ilmu itu secara bersama-sama tidak dapat menguasai seluruh realitas?. Bahkan jika seandainya hal itu mungkin, masih ada dua kesulitan:
1.            Tidak semua ilmu berkembang sama jauhnya, karena dalam perkembangannya antara ilmu yang satu terikat dengan ilmu yang lain (teoritis-praktis; sosial-ilmu alam; biologi-kimia).
2.            Karena ilmu berbeda dalam objek formanya, sebab tidak mudah untuk menyatukan cara kerja dan pendekatan antara ilmu-ilmu itu (van Melsen:55).
          Ilmu pengetahuan memang sukar kembali kepada induknya filsafat, karena pradigmanya telah begitu berbeda, tentunya filsafat yang bertujuan untuk mengerti tentang manusia dalam mana pengetahan selalu diberi nafas oleh tujuan fundamental ini. Tetapi dewasa ini pengetahuan didasarkan atas pradigma bagaimana manusia menjadi berkuasa. Penguasaaan terhadap alam banyak membawa manusia lupa mengenali dirinya sehingga nilai-nilai pragmatis dan operasional menjadi semakin jelas. Bahkan menurut van Peursen hakikat manusia telah tertindas oleh nilai praktis ilmu dan manusia sendiri dipandang tidak lebih dari hal-hal material dan operasional (van Peursen, 1985: 112-117).   
Kelahiran filsafat ilmu pada abad ke 18 memberikan petunjuk bahwa ilmu-­ilmu cabang telah menyentuh nilai-nilai dasar/fundamental bagi umat manusia  menyentuh nilai-nilai moral bagi kelangsungan umat manusia, filsafat ingin kembali memadukan.
Adapun yang dikerjakan oleh filsafat modern: l) Apa sarana untuk mencapai kebenaran, dan 2) apakah kebenaran itu. Filsatat modern lebih identik dan menfokuskan dengan epistemologi yakni pemikiran mengenai kenyataan dan kebenaran.
Abad modern diisi oleh diskusi antara lain:
1.   Rasionalisme
2.   Empirisme
Untuk mendamaikan adalah rasionalisme kritis (kritisime), juga didamaikan oleh phenomenologi. (Lihat Az Zuhruf: 33).